Mengenai Saya

Foto saya
Pengagum kupu-kupu. Mencoba menuliskan dunianya dalam bingkai cerita.

Minggu, 27 Maret 2011

Semestinya Kau Bahagia

Siang telah mengamit malam. Teduh cahaya terang mulai tertelan. Bisik dedaunan menelisik ruang. Satu persatu sang bintang melanglang. Dan awan menyapa rembulan. Takjub. Seketika bumi kembali lelap. Dimana mata-mata telah tertutup rapat. Pintu-pintu terkunci rapi. Dan anak mata gemulai bermimpi.

Di batas kota, di ujung desa. Temaram lampu masih menjelang. Sebuah kamar yang beradu dengan dingin angin, dicandai tiga sosok yang masih terjaga. Aku, kamu, dan dia.

Sehangat kopi masih mengepulkan aroma khas. Suara dan rupa dalam lawakan si sunda bule dan si gagap menyelingi tawa dalam kebersamaan kami. Memang penat telah terlupa, sejenak gundah juga merana entah kemana. Dan tepian jeda menemui. Jari telunjuk lihai menapaki tampilan layar. Hingga akhirnya, berpasang mata tertuju pada sosok disana.

Wajahnya bukan penggoda, suaranya tak laksana biduan yang melenakan, tampilan begitu ramah dimata. Siapakah dia?

Ah, maaf membuat Anda bertanya-tanya. Dia adalah seorang ustadz yang sedang bertausyah. Sesaat kami seperti menyelam dalam renungan. Ternyata, tiada terasa bahwasanya hati ini telah kering, hingga sepercik air terasa menyejukkan. Dan kerontangnya jiwa begitu mudah diterka.

Tik,tok,tik,tok. Jarum jam berdecak. Awan bergerak berarak. Malam semakin meninggi. Juga gairah angin yang tiada berhenti meliputi. Bersatulah pendengaran dan hati kami dalam senggang obrolan ringan, renyah, dan bersahabat.

“Sholat itu ibadah yang mudah dikerjakan namun enggan dilakukan?”

“Katanya sibuk ini itu. Benarkah sedemikian sibuk? Berapa lama waktu yang tertempuh untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul seperti ini. Atau berapa jam lekat mata memandangi kotak televisi?

Tiada pembelaan, dirilah yang khilaf. Meninggalkan sholat dengan kesengajaan.

“Islam meliputi yang enam. Iman kepada Allah, rasul, kitab, malaikat, hari akhir, juga takdir. Iman artinya percaya. Percayakan bahwa Allah itu ada? Dan buktinya?”

“Jagat raya tercipta, dunia teratur sempurna, dan rejeki makluk mendapat tempatnya. Semua tak berjalan sendiri. Disana ada campur tangan Yang Maha Kuasa.

“Perhatikan diri kita; mata, telinga, mulut, tangan, kaki, juga anggota tubuh yang lain. Setiap saat kita menikmatinya. Memanfaatkannya. Tapi kita lupa, siapa yang memberikannya. Andai saja satu tercerabut nikmat itu. Renungkan sehari saja, betapa nikmat yang diberikannya sungguh luar biasa. Dan kita hanya diminta bersyukur. Mudah kan?”

“Alhamdulillah. Ah, tak cukup hanya itu. Islam tegak dengan lima perkara. Syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Dan sholat itu salah satu tanda bersyukur.”

Obrolan semakin menghangat. Seolah hati kami yang berbicara. Dan dalam kata cinta yang kau dan dia ucapkan. Menegarkan, seharusnya kita bahagia.

“Sudah dulu ya, takut kesiangan sholat subuh,” begitu katamu.

Bercerailah ikatan erat ini. Menuju peraduan malam. Sejenak kemudian ruangan ini kembali sunyi, ditingkahi temaram lampu sendiri.

Sahabat adalah orang yang mengingatkan dan saling menasehati dalam kebaikan.

Tatkala Cinta Bertahta di Singgasana

                Senja, sebentar lagi berlatar jingga, lalu kelam terbenam malam. Biru, haru dirindu bangsa berbulu yang kepakannya mengangkasa.  Tampak sudah keremangan yang menghapus bayangan. Pelita menyala menandingi buyarnya kilau surya.

                Ia, masih duduk menanti. Di ambang pintu, sendiri. Sepi. Terdiam bersama lamunan. Menyandarkan diri pada kayu pintu yang menua. Letih menghimpit, sejenak dilepasnya lewat tarikan nafas. Disekanya buliran keringat di gurat kulit yang semakin melipit. Retakan di telapak kakinya menyiratkan liku hidupnya. Tak mudah dan penuh perjuangan.

                Emak, saya biasa memanggilnya demikian. Perempuan gunung itu, menjajakan beragam makanan kecil dengan berkeliling seiring kekuatan langkah kakinya. Berkilo jauhnya bila dikira, pun tak pernah lenguh keluh melepuh diucapnya. Sejak matahari di puncak tahtanya, sampai lengser terlempar ke barat, ia menggendong jajakannya dengan lilitan selendang yang menjerat ringkih tubuh yang tak lagi muda. Alas kaki lusuh berserak debu yang sebagian menyelimuti keriput kulit legamnya. Sebuah caping setia menahan terik yang mengerik kepala. Dirasakannya dalam kurun tahunan. Tak gentar, tetap bertahan. Cuaca panas maupun penghujan bukanlah halangan.

Setiap petang menjelang, ia menanti disana. Setia penjemputan suaminya. Kan membawanya pulang dalam peraduan. Rumah tempat ternyaman. Acapkali saya menemuinya. Sekedar berbagi cerita. Satu-satu. Tentang keluarganya, keluh kesahnya, juga sepotong memori masa lalunya yang masih samar tergambar.

                Satu setengah tahun, bukanlah waktu yang sebentar untuk mengenalnya. Sisi putih maupun dinding gelapnya. Tetapi rahasia terbesar dan terhebat akan terungkap. Saat itu, saat dimana tak sengaja saya menanyakannya.

                Muncul sesosok mungil dengan geliat manja dan senyum manisnya mengoda saya untuk menyapa. Sekedar bermain mata, tersenyum padanya. Lihatlah, ia malu lalu berlalu. Rumbai rambut yang tertiup sepoi angin mengajak saya segera berkata.

                “Lucu ya Mak, anak kecil itu.”

                “Imutnya..”

                Mengingatkan pada buah hatinya, mungkin. Sebenam rindu pasti akan muncul kembali. Menolstagia manisnya tawa canda.

                “Cucunya sudah berapa, Mak?”

                “Oh, berapa ya?”

                Entah mengapa, lama cerita mengena pada sebuah rahasia yang terkatakan. Tak lagi terpendam. Bersama lelaki sepuh setia yang mengantarnya pulang, ternyata mereka belum dilimpahi putra. Lalu siapa, anak lelaki yang sesekali bertautan dengannya. Kerap menjinjing pulang jajakannya.

                Penasaran tepat sasaran. Tanya melambung dan Emak menangkapnya begitu ringan. Tanpa beban. Seolah percaya dengan binar di mata saya. Yang membuka sebuah rahasia.

                “Ia adalah anak angkat, yang Emak pungut setelah empat hari membuka dunia. Ibunya meninggal sewaktu melahirkannya, menyusul ayahnya (adik Emak) empat hari kemudian. Yatim piatu, tak beribu, tak berbapak.”

                Sekelebat ragu sempat menghambat rasa percaya. Seketika saya tepis dengan kesungguhannya bercerita. Begitu mengalun, berperasaan, dan mengalir cinta.

                “Kasihan, begitu orang berujar. Tak terselamatkan bila tiada yang merawatnya. Bayi merah yang butuh kehangatan pelukan bunda. Juga sesesap susu yang mengenyangkannya. Nama yang tersandang, Emak yang memberikan. Ia enam bersaudara. Tatkala orang tuanya tiada, maka sepenuhnya kebutuhan keenamnya Emak yang menanggungnya.”

                Subhanallah. Hati saya merintih. Mendung menggantung dikelopak mata. Suara memarau sengau. Dada menyempit sipit menahan sesaknya senggukan yang bisa ditahan. Seperti inikah sosok yang saya kenal, dibalik penampilannya yang teramat sederhana, bahkan terlihat biasa.

                “Lalu siapa anak perempuan yang dulu pernah Emak ceritakan?”

                “Ia anaknya adik Bapak. Ditinggal mati ibunya ketika melahirkan. Ayahnyatak memperdulikan, tega meninggalkannya dan kawin lagi. Semua saudaranya terbagi, dipungut satu-satu oleh saudara Bapak. Dan anak angkat Emak bertambah menjadi tujuh.”

                Berdecak kekaguman akan putih hatinya. Tujuh putra serta merta menaungi hidupnya. Meramaikan setiap detak kehidupannya. Tak terbayangkan, seberapa besar kasih sayangnya yang tiada ujung itu. Andai boleh dikata, cintanya melebihi makna cinta.

                “Sebelumnya, Emak juga memunggut anak tetangga. Tiga bersaudara. Tiga tahun, dua tahun, dan masih bayi. Orang tuanya sakit-sakitan hingga menyerahkan tanggungnya.”

                “Jadi semuanya sepuluh!” menyirat tak percaya saya menyela.

                “Ya!”

                Saya hentikan tanya. Menerawang pemandangan yang semakin cepat menghitam hilang bayangan. Mata terpejam tajam. Merasakan haru yang menderu. Menakar mulia tak terhingga. Menghela nafas hidupnya yang berarti tungku kehidupan anak angkatnya. Ah, saya tak mampu melukiskan betapa indah cintanya.

                “Namun, pernahkah anak angkat Emak menanyakan perihal bapak ibunya sebenarnya?”

                “Pasti. Emak ceritakan kepada mereka siapa sebenarnya saya. Siapakah yang telah melahirkannya. Juga pusara dimana orang tua mereka bersemanyam.”

                Termangu, sendu menyeruak. Memenuhi rongga hati. Pedih, mungkin. Tapi tak sampai hati menangisi kesedihan.

                “Sekarang mereka semua telah berkeluarga. Setiap tahunnya berkumpul di rumah Emak yang terlalu kecil bersama cucu tercinta. Bahagia.”

                Lega, dada melapang meredam kisahnya. Setumpuk haru akan saya rajut menjadi rindu. Rindu kepada sosok ibu yang teruang dalam rentang waktu. Disana, saya juga merasakan hangat cintanya. Seperti halnya Emak menuangkan kasihnya pada anaknya.

                Pijaran bola merah telah tertelan. Semarak awan jingga telah berubah warna. Menghitam, sehitam petang. Sunyi kembali meratapi. Mimpi menunggu pasti.

                Terima kasih, Mak. Kisahmu akan tertanam selalu. Diruang lenggang hati ini.







                *di Tanah Kerinduan, 15 Oct 2o1o, ditemani sepiring singkong goreng dan segelas kopi :P

                **seperti yang Emak (super hero) ceritakan kala senja tadi

Betapa Beruntungnya Hidupmu, Sobat

Membaca kisahmu, aku terharu.Menyimak jejakmu, kutahu beruntungnya aku. Dua tahun sudah aku mengenalmu. Lewat seberkas senyuman dan gaya rambut yang mirip vokalis Kangen band yang kala itu tenar. Dan kerlingan matamu, membawaku sebuah tanya. Inginnya kuselami samudra kehidupanmu.

Aku biasa memanggilmu, Budi. Namun itu namamu kala engkau masih kecil. Ketika tubuhmu didera sakit berkepanjangan.Atas kehendak orang tuamulah, engkau berganti nama baru, Zaky. Ah, nama yang indah. Semoga setiap detak masa depanmu kelak, seindah namamu.

Engkau sering menghilang, tanpaberita, tanpa cerita. Berbulan lamanya entah kemana, dan darimana pula tiba-tiba engkau datang kembali. Dihidupku. Masih dengan senyuman dan gaya rambut yang berbeda pula, Emo. Dan tak lupa engkau menyapa "Baikkah dirimu?"

Binar dimatamu, sungguh menyiratkan seribu cerita. Begitu sukar, dangkal, riak dan bergejolak. Petang itu dalam kebersamaan kita, kau mengungkapkan sebuah asa. Kutanya, "Kemana hape yang kemarin engkau bawa?" "Dipinta adik, ia malu bertemu temannya dengan hape butut ini," katamu seraya menunjuk sesuatu di tanganmu. "Kenapa?" "Karena begitu sayangnya diriku padanya.
Adikku adalah bingkisan anugrah yang tak ternilai anugrah Tuhan. Satu-satunya yang masih ku miliki."

"Kawan, engkau tahu?" bisikmu. "Ya.""Ibuku telah lama meninggal, dan ayah sudah dimiliki keluarga lain. Saat iniaku beruntung, masih mempunyai seorang bibi yang mau menerima kami; aku dan adik. Seperti adanya."

Rasanya aku ingin menangis,mendengar penuturanmu. Ketegaran yang penuh liku, tatapan yang tak pernah sendu, dan engkau selalu mampu menyembunyikan kegetiran hatimu dariku, selalu,lewat senyum ceriamu.

"Aku membiayai sekolah adikku. Sendiri. Karena ayah sudah tak peduli lagi pada kami." Deg, rasanya jantungku berhenti berdetak, nafas tertahan, dan tenggorokan tercekat. "Dan kenapa aku sering menghilang berbulan-bulan?" tanya yang akhirnya engkau jawab sendiri. "Di kampung,di rumah bibi, aku membantunya mengecat wayang golek pesanan seseorang. Meski jika sepi, terkadang tak mendapat upah. Namun itu lebih dari cukup, bibi telah menghidupi kami." Aku termangu, membaca lagi kisahmu yang tak pernah terpetikdalam hati.

"Maukah engkau kubawakan sesuatu?"tawarmu. "Apa itu?" "Wayang golek, dan nanti akan kupulas sendiri." " Ya,mauuu." "Tapi habis lebaran ya," godamu menghadirkan tawaku. "Boleh." "Siapa wayangnya? Hmm, yang ada mahkotanya yah. Mungkin Arjuna atau Gatotkaca." "Iyadeh."

Waktu itu engkau dapat menangkap binarkebahagiaan dimataku. Engkau tidaklah sendiri, kawan. Masih ada aku yang selalu setia mendengar ceritamu dan meresapi kisah hidupmu. Dalam perjuangan hebat meretas batas, seakan engkau membisik ke dadaku. "Beruntungnya hidupmu, Sobat."

Cerah mentari mengukir hari-hari,engkau tapaki dengan mimpi. Membawa asa mu melayang tinggi hingga sisa nafas kan terhenti.

Memiliki Kehilangan

Ini gerimis kedua dalam bulan ini. Dimana sepoi angin berhembus membawakan kerinduan terdalam. Dan bentangan lapang kerontang telah basah bersimbah butiran hujan. Menyatu teduh. Menelusupkan hawa kesejukan yang mengobati kerinduan.

Sebenarnya, teramat menyayat untuknya. Suara percik butiran air hujan yang jatuh terhempas menelempeng tanah. Terpecah. Terbelah. Dan seperti itulah hancur kepingan hatinya. Derai hujan yang menjemput tanah, ditatapnya. Membawanya turut bermuara ke samudera kenangan. Manis, hingga membentuk lengkungan senyuman tipis. Bagai larik pelangi usai hujan mengisi hari. Indah, bersanding dengan mega layang. Sayang, semuanya telah berlalu. Hingga terasa menyakitkan jika harus dikenang. Telaga matanya, bening. Hening. Lalu beriak. Menandakan ada yang terkoyak. Batinnya. Dan luluhlah hangat tangis.

Senja usianya. Tersirat dari raga penopang sukma. Kerut didahi tampak tersusun rapat bergurat. Kelopak mata mencekung melandai. Keriput kulitnya menggulung bergunung. Punggung kian mengudang. Tapak gemetar. Sorot mata memudar. Kiranya…

Ia merindu. Sangat merindu. Kekosongan dalam jiwanya kembali dipenuhi belasan peristiwa. Dipandangnya foto tua dalam lemari kaca. Sebuah keluarga bahagia. Dirinya, belahan jiwa dan cahaya mata. Andaikan ia bisa kembali mengulang masa itu. Mengulang senyuman itu. Ah, tiada harap. Hanya mendamba. Dan dialihnya sorot sendu pada sebuah foto muda dengan senyuman cahaya mata, putri semata wayangnya. Yang bersanding dengan sang pangeran tambatan hati putrinya. Pernikahan dua tahun lalu bukan hanya memunggut cahaya matanya, namun juga keindahan dari ruang hatinya. Ya, putrinya telah dewasa. Bukan lagi balita yang dulu ia timang, dinina bobokan tiap malam, dan disayang dengan segenap cinta. Telah lepas pula tanggungannya dan kini putrinya telah memiliki kehidupan sendiri, kebahagiaan baru yang akan disemai bersama sang pangeran pujaan. Mungkin, itulah kehidupan. Memiliki kehilangan. Dan sepantasnya tetap dijalani. Dalam sendiri, digelayuti sunyi.

Separuh hatinya, sang suami telah lama meninggalkan jejaknya. Satu dasawarsa dirasa tidaklah lama. Karena kemarin ia masih punya cahaya matanya. Cintanya. Sepenuhnya masih ia curahkan. Namun kini tiada. Hampa. Rudung duka menutupi garis wajahnya.

Gerimis sore ini. Kecipak di dedaunan. Mengingatkannya di sore itu. Tentang perpisahan. Makna kehilangan. Cahaya mata yang menerangi hidupnya telah dibawa sang pangeran pujaan putrinya. Ke istana bahagia nan jauh disana. Dipandangnya putih langit. Digoresnya lembut paras putrinya dalam mendung kelabu. Lama tertegun. Ia tersenyum getir. Berharap petang kan menjelang. Baginya gerimis ini mengobati segores luka kepedihan hatinya. Kerinduannya. Cucuran hujan yang menemani kesepiannya, pasti juga merindukan laut. Sekian lama. Tak kunjung belahan hati didekapnya. Ingin, ingin sekali dipeluknya erat. Tak terlepas. Hingga derai air mata tumpah tak tertahankan. Mengembangkan senyuman indah di rona wajahnya. Dihatinya. Juga pada suara-suara yang akan mengisi relung hatinya.

Perempuan tua itu masih setia di beranda. Menanti kepulangan cahaya mata tercinta.

“Nak, lekaslah pulang.”

Surat Kasih Untukmu, Flu

                Hai Flu, gimana kabarmu? Moga sehat selalu. Kapan terakhir kamu berkunjung padaku? Hampir semusim berlalu. Sudah rindukah kamu? Kalau boleh tahu, seberapa dalam rindu yang kamu pendam untukku? Ah, kamu masih seperti dulu. Diam membisu. Menjawab sendiriku dalam sepiku.

                Istirahatlah sejenak dalam badanku. Rebahkan sendi-sendi yang meleraikan lelahmu. Bagaimana tadi perjalananmu di kereta angin. Menyenangkankah? Inginku ikut menjadi kawan berceritamu. Setidaknya mengurangi jemu menunggu. Tetapi lain kali saja ya. Oh ya, mandilah dulu. Ambillah handuk di hidungku. Sesudah itu berbaringlah di tenggorokanku.

                Maaf, mungkin aku tuan rumah yang pelit. Hanya memberikan ruang yang sempit. Berhimpit dengan debu dan kotor. Sejuk di ruangan yang sedikit. Hingga memaksamu keluar meleleh melorot menyentuh bibirku.

Jangan marah ya, bila kukatakan sesuatu. Janji!

Sejujurnya aku tak merindukanmu. Tidak pula ingin kamu bertamu meski sejenak saja. Ups, jangan tersinggung. Tahan tanganmu. Hempaskan nafas beratmu. Oke. Sudah?

Ada sesuatu kenapa aku harus menyurat untukmu. Meski terkadang aku membencimu. Tak tahu kenapa. Tapi hadirmu malam ini. Punya arti sendiri bagiku. Langkahmu terasa menguatkanku, bahwa sebenarnya aku ini teramat lemah. Lemah tubuh yang kau pinta, mengingatkanku kepada siapa aku punya. Ketidakberdayaan diriku, kamu mengabarkan bahwa hanya Ia tempat segala bergantung sesuatu.

Aku tahu kamu sayang padaku. Teramat cinta. Tak ingin pula kamu kehilangan diriku. Tapi ketahuilah, Flu. Cintailah apa yang kamu punya karena apa yang kamu cinta belum tentu kamu punya.**

                Flu, bila engkau sudi, bolehlah agak lama mampir di rumahku ini. Hmm, apa? Oh, maafkan minuman yang aku sajikan tadi. Tak bermaksud aku meracunimu. Tak pula aku berniat mengusirmu. Tenang, biar aku jelaskan. Itu tadi hanya sebentuk pilihan takdirku. Tentu juga kamu memahami.

                Bila saat kepergianmu tiba. Bolehkah aku merindukanmu untuk sebuah masa?

                “Hatchii…” jawabmu.

                Baiklah, “Alhamdulillah.”

                *error..error..error..mode on :P

                **makasih mas khanif untuk ungkapan yang pernah kupinta

                ***Ruang Cahaya, o4 Nov 2o10

Surat Untuk Sahabatku, Merapi

                Apa kabar, Sahabat? Bagaimana keadaanmu. Baikah kamu disana. Atau sedang sakit flu seperti yang kualami sekarang. Katanya ingus merahmu juga mulai mencair mengalir. Bagaimana juga kabar saudara dekatmu, Merbabu. Sama tinggikah kalian sekarang. Pernahkah kamu tanya obat padanya jika gejala pilek meradang. Ah, kamu masih seperti dulu. Pasti kebanyakan merokok hingga tak kunjung sembuh. Berhenti ya. Jaga kesehatanmu.

                Sahabat, jaman sekarang sudah berubah. Rentang jarak bisa disingkat. Jauh serasa dekat. Sebenarnya tak perlu juga kukirimkan surat ini via pos, cukup ke emailmu saja. Itu lho yang lewat jaringan internet.

Oh ya, berapa nomer hapemu. Atau akun facebook-mu. Boleh juga twitter-mu. Nanti biar aku save, add dan twit. Paling tidak aku tak harus berkirim surat padamu. Cukup meng-sms-mu atau melihat statusmu. Siaga, waspada, atau tenang-tenang saja. Ah, lupakan.

Sahabatku, di media kini kamu jadi terkenal. Hampir setiap paruh waktu berita tentangmu gencar memenuhi kotak dan halaman. Menjadi breaking news. Wajahmu tersorot. Kepulan asap rokokmu. Pilek yang semakin menjadi. Suara batukmu yang terdengar hingga radius beberapa kilo.

                Maaf, seminggu yang lalu aku baru bisa menengokmu. Ternyata penyakitmu tambah parah. Badanmu kian panas. Demam tinggi. Hingga endusan panas dari hidungmu mampu memanggang ternak yang dibiarkan, juga menghanguskan rumah yang ditinggalkan.

                Perlukah kupanggilkan seorang dokter? Ah, mereka ternyata sibuk sekali, Sobat. Memeriksa kondisi kesehatan para pengungsi yang ketakutan setengah mati. Mengobati derita korban yang melepuh kulitnya tersinggung dengus panas hidungmu. Juga merawat pasien yang trauma melihat kondisi kesehatanmu yang kian memburuk.

                Kenapa? Jangan marah ya. Jika mereka meninggalkanmu disaat kamu menderita sakit seperti ini. Percayalah! Mereka juga mendoakanmu agar cepat sembuh. Lihatlah tulus yang mengalir dari bening matanya. Getar bibirnya yang mengucap agung asmaNya. Pengharapan yang tertaut di wajah piasnya. Semuanya, Sobat. Mereka peduli padamu.

                Ah, kamu jangan cengeng begitu. Hapus air matamu. Redakan gemuruh di dadamu. Semakin kamu menangis, semakin sesak pula nafas mereka yang mendoakanmu karena hujan abumu. Tersenyum saja ya. Nah, gitu.

Sebenarnya aku rindu, teramat rindu padamu. Rindu akan kesembuhanmu. Seperti dulu. Dimasa itu.

Sobat, aku mau bercerita. Tentang masa kecilku dulu, juga tentangmu, antara kita. Dengarkan ya.

Dulu, pagi ketika aku berangkat sekolah, selalu aku melihat teduh wajahmu dari balik hijau dusunku. Biru, sebiru langit cerah tanpa awan. Gagah tubuhmu terpancar dari kejauhan. Elok begitu rupa diterpa mentari pagi. Aku kagum. Terpana dengan sosok tenangmu yang berwibawa. Dalam peluk tubuhmu yang besar, pasti didapati kedamaian disana. Bahkan dalam tidur pulasmu, ada ketenangan yang meraja.

Sobat, itu dulu. Setelah itu kamu gemar akan kebiasaanmu, merokok. Meski hanya terkadang, namun sekarang bisa kamu tahu efeknya kan. Bertahun-tahun lamanya. Kumohon kini, ini demi kebaikan kita. Hentikanlah sekarang juga. Mau kan, please…

Oh, sebenarnya kamu tak ingin seperti ini juga ya. Aku tahu hatimu begitu peka. Tak ingin kamu melihat penderitaan di bawah sana. Dalam barak pengungsi, dalam ketakutan yang menggigil. Tangis yang pecah kerena kehilangan saudara dan hartanya. Obat-obatan yang dibutuhkan. Wajah melas yang berharap pertolongan. Kebutuhan papan, sandang, dan pangan yang kurang dari kecukupan. Anak-anak yang tak bisa belajar mengenyam pendidikan. Masa depan semuanya terlihat suram. Kelabu tak menentu.

Ah, kamu jangan ikut bersedih. Lihatlah, akan ada dari saudara kita yang membantu sesama. Meluangkan pikiran, waktu, dan tenaga untuk saudara yang ditempa derita. Lewat doa dan harta. Semangat kepedulian mereka, saksikan!

Sekarang istirahatlah dulu ya. Matikan nyala rokok ditanganmu. Berbaring dan tidurlah. Semoga mimpi indah.

Sekian dulu surat rinduku. Semoga kamu lekas sembuh. Jaga kesehatanmu. Peluk hangat dan dekap erat, Sahabatmu.


*Kota Udang, o6 Nov 2o1o.

Kecewa

amarah bersarang di dada

mengepal tangan

acungkan telunjuk

ke mukamu



mata nyalang penuh kebencian

tajam menikam

merobek nyalimu




lihat, muka batuku akan menghantammu

juga urat besar di leherku akan menjeratmu

dengar, gemeretak gerahamku akan meremukkanmu

dan sengal nafasku akan membekapmu



                apa yang kau tatap!

                dadaku ingin meledak



*Palimanan, 12 Nov 2o1o.