Mengenai Saya

Foto saya
Pengagum kupu-kupu. Mencoba menuliskan dunianya dalam bingkai cerita.

Minggu, 27 Maret 2011

Betapa Beruntungnya Hidupmu, Sobat

Membaca kisahmu, aku terharu.Menyimak jejakmu, kutahu beruntungnya aku. Dua tahun sudah aku mengenalmu. Lewat seberkas senyuman dan gaya rambut yang mirip vokalis Kangen band yang kala itu tenar. Dan kerlingan matamu, membawaku sebuah tanya. Inginnya kuselami samudra kehidupanmu.

Aku biasa memanggilmu, Budi. Namun itu namamu kala engkau masih kecil. Ketika tubuhmu didera sakit berkepanjangan.Atas kehendak orang tuamulah, engkau berganti nama baru, Zaky. Ah, nama yang indah. Semoga setiap detak masa depanmu kelak, seindah namamu.

Engkau sering menghilang, tanpaberita, tanpa cerita. Berbulan lamanya entah kemana, dan darimana pula tiba-tiba engkau datang kembali. Dihidupku. Masih dengan senyuman dan gaya rambut yang berbeda pula, Emo. Dan tak lupa engkau menyapa "Baikkah dirimu?"

Binar dimatamu, sungguh menyiratkan seribu cerita. Begitu sukar, dangkal, riak dan bergejolak. Petang itu dalam kebersamaan kita, kau mengungkapkan sebuah asa. Kutanya, "Kemana hape yang kemarin engkau bawa?" "Dipinta adik, ia malu bertemu temannya dengan hape butut ini," katamu seraya menunjuk sesuatu di tanganmu. "Kenapa?" "Karena begitu sayangnya diriku padanya.
Adikku adalah bingkisan anugrah yang tak ternilai anugrah Tuhan. Satu-satunya yang masih ku miliki."

"Kawan, engkau tahu?" bisikmu. "Ya.""Ibuku telah lama meninggal, dan ayah sudah dimiliki keluarga lain. Saat iniaku beruntung, masih mempunyai seorang bibi yang mau menerima kami; aku dan adik. Seperti adanya."

Rasanya aku ingin menangis,mendengar penuturanmu. Ketegaran yang penuh liku, tatapan yang tak pernah sendu, dan engkau selalu mampu menyembunyikan kegetiran hatimu dariku, selalu,lewat senyum ceriamu.

"Aku membiayai sekolah adikku. Sendiri. Karena ayah sudah tak peduli lagi pada kami." Deg, rasanya jantungku berhenti berdetak, nafas tertahan, dan tenggorokan tercekat. "Dan kenapa aku sering menghilang berbulan-bulan?" tanya yang akhirnya engkau jawab sendiri. "Di kampung,di rumah bibi, aku membantunya mengecat wayang golek pesanan seseorang. Meski jika sepi, terkadang tak mendapat upah. Namun itu lebih dari cukup, bibi telah menghidupi kami." Aku termangu, membaca lagi kisahmu yang tak pernah terpetikdalam hati.

"Maukah engkau kubawakan sesuatu?"tawarmu. "Apa itu?" "Wayang golek, dan nanti akan kupulas sendiri." " Ya,mauuu." "Tapi habis lebaran ya," godamu menghadirkan tawaku. "Boleh." "Siapa wayangnya? Hmm, yang ada mahkotanya yah. Mungkin Arjuna atau Gatotkaca." "Iyadeh."

Waktu itu engkau dapat menangkap binarkebahagiaan dimataku. Engkau tidaklah sendiri, kawan. Masih ada aku yang selalu setia mendengar ceritamu dan meresapi kisah hidupmu. Dalam perjuangan hebat meretas batas, seakan engkau membisik ke dadaku. "Beruntungnya hidupmu, Sobat."

Cerah mentari mengukir hari-hari,engkau tapaki dengan mimpi. Membawa asa mu melayang tinggi hingga sisa nafas kan terhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar