Mengenai Saya

Foto saya
Pengagum kupu-kupu. Mencoba menuliskan dunianya dalam bingkai cerita.

Minggu, 27 Maret 2011

Surat Buat Bunda

                Apa kabar, Bunda? Bagaimana sekarang Bunda disana? Ananda rindu. Telah seminggu ini Ananda tak bisa tidur nyenyak. Terbayang wajah teduh Bunda disana. Sekilas senyum yang selaksa bunga merekah itu selalu mengikuti. Menghantui setiap sepi ini. Ah, Bunda, kapan Ananda bisa bersua lagi.

                Beberapa hari ini tubuh Ananda agak lemas. Mungkin karena Ananda tak banyak makan. Sakit, karena keseringan memikirkan bagaimana Bunda sekarang. Maafkan. Rindu ini terlalu berat ditahan. Sungguh, saat seperti ini Ananda jadi teringat akan kisah lalu. Ketika Ananda jatuh sakit tak berdaya. Lara. Lalu hadir pelukan Bunda. Mendamaikan. Lalu disana tampak telaga bening mengalir di pipi Bunda. Luruh. Kalaulah bisa, saat itu Ananda akan coba menghapusnya. Tak ingin Bunda sedih karenanya. Dalam kebeningan mata itu, Ananda tahu, ada besar cinta tersirat disana.

                Bunda, dekap hangatmu, Ananda rindu. Pelukan kasih sayang seorang ibu yang mampu menenangkan. Meredakan di saat gelisah mengiba. Di kala takut meraja. Meski Ananda tahu, kadang pelukan itu terlalu erat. Tak ingin kehilangan.

                Bunda, sebenarnya Ananda tak ingin menceritakan kembali. Kisah tentang mereka. Kebaikan tanpa harap dan ucap terima kasih. Mereka yang telah memberikan kita tempat naungan yang teduh ini. Memanyungi dari panggang matahari dan curah hujan. Tanpa diminta menyiapkan sarapan, makan siang, dan juga makan malam kita setiap hari. “Sahabat,” Bunda bilang begitu. Ananda setuju. Tak pernah terdengar lenguh keluh dari katanya. Juga sungguh baik peragainya. Mereka adalah manusia terpuji. Kalau saja kita bisa membalas jasa mereka ya, Bunda.

                Tapi, seminggu lalu. Hati Ananda perih. Terluka. Sahabat kita itu, kenapa diam saja? Sewaktu sosok berdada bidang dan berbahu kekar itu menarik kasar Bunda. Tak punya nuranikah mereka ketika melihat Bunda meronta? Kejam! Kalaulah tali ini tak mengekangi, tentu Ananda akan tendang dan hajar mereka. Biar mereka tahu rasa, bagaimana rasanya orang yang terkasihi disakiti. Namun, apa daya. Ananda tak mampu melakukannya. Dan tatapmu, Bunda, menyiratkan kehilangan. Bunda!!

                Masih Ananda ingat, bagaimana tetes bening air mata Bunda jatuh berderai membasahi tanah. Saat itu, jejak perpisahan yang tak terlupakan. Bagaimana isak tangis tak sanggup terbendung. Mendung menggantung di pelupuk. Dan kita terdiam, hanya hati yang berbicara lewat tatap mata. Cahaya yang akan hilang. Bunda, Ananda kangen..

                Sejak kehilangan sosok Bunda. Hari Ananda jadi terasa sepi. Entah. Setiap hari hanya mengurung diri di pembaringan. Tak ingin berdiri sekedar menengok dunia yang katanya indah itu. Ah, kemarin, sahabat kita yang tak peduli itu mencoba menghibur Ananda. “Tulislah surat kepada Bundamu,” katanya.

                Meski hati meradang, tapi Ananda memaksa tersenyum. Ananda tanya, dimana Bunda dibawa? Mereka hanya menggeleng kepala. Seakan raut sedih juga melekat di wajahnya. Lalu berlalu pergi meninggalkan Ananda sendiri. Sedih. Ananda sedih sekali, Bunda.

                Maafkan. Ananda hanya bisa menulis rindu ini. Semoga bisa mengobati rasa yang sama di hari-hari Bunda. Lewat secarik surat yang Ananda tulis dengan penuh harap ini. Akankah Ananda bisa bertemu Bunda lagi? Ananda tunggu balasan dari Bunda.

Dari Ananda, yang merindu selalu.

***

Balasan : Surat untuk Ananda.

                Ananda yang kucinta. Maafkan jika Bunda tak bisa menemani harimu lagi. Bukan ingin Bunda begitu. Namun takdir yang ternyata sanggup memisahkan satu jiwa kita. Ananda jangan bersedih. Bunda di sini baik-baik saja. Besok ied sudah tiba. Gema takbir akan mendunia. Umat muslim suka cita merayakannya. Sebenarnya itulah saat yang dinanti Bunda. Menjalankan peran sebagai hambaNya. Hamba yang bersyukur atas limpahan rahmat.

                Bila Ananda telah membaca surat ini. Berarti Bunda tiada di dunia lagi. Tentu Ananda tahu, bangsa kita diciptakannya untuk apa? Untuk kemaslahatan umat manusia, sahabat kita. Dan itulah bentuk ketaatan Bunda kepada Sang Pencipta.

                Kadangkala hidup tak bisa memilih. Tapi percayalah inilah yang terbaik untuk kita.

                Sekian surat singkat dari Bunda. Bila Ananda merindu. Bayangkan senyum Bunda ya..

                Kecup hangat..

Bunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar