Mengenai Saya

Foto saya
Pengagum kupu-kupu. Mencoba menuliskan dunianya dalam bingkai cerita.

Minggu, 27 Maret 2011

Semestinya Kau Bahagia

Siang telah mengamit malam. Teduh cahaya terang mulai tertelan. Bisik dedaunan menelisik ruang. Satu persatu sang bintang melanglang. Dan awan menyapa rembulan. Takjub. Seketika bumi kembali lelap. Dimana mata-mata telah tertutup rapat. Pintu-pintu terkunci rapi. Dan anak mata gemulai bermimpi.

Di batas kota, di ujung desa. Temaram lampu masih menjelang. Sebuah kamar yang beradu dengan dingin angin, dicandai tiga sosok yang masih terjaga. Aku, kamu, dan dia.

Sehangat kopi masih mengepulkan aroma khas. Suara dan rupa dalam lawakan si sunda bule dan si gagap menyelingi tawa dalam kebersamaan kami. Memang penat telah terlupa, sejenak gundah juga merana entah kemana. Dan tepian jeda menemui. Jari telunjuk lihai menapaki tampilan layar. Hingga akhirnya, berpasang mata tertuju pada sosok disana.

Wajahnya bukan penggoda, suaranya tak laksana biduan yang melenakan, tampilan begitu ramah dimata. Siapakah dia?

Ah, maaf membuat Anda bertanya-tanya. Dia adalah seorang ustadz yang sedang bertausyah. Sesaat kami seperti menyelam dalam renungan. Ternyata, tiada terasa bahwasanya hati ini telah kering, hingga sepercik air terasa menyejukkan. Dan kerontangnya jiwa begitu mudah diterka.

Tik,tok,tik,tok. Jarum jam berdecak. Awan bergerak berarak. Malam semakin meninggi. Juga gairah angin yang tiada berhenti meliputi. Bersatulah pendengaran dan hati kami dalam senggang obrolan ringan, renyah, dan bersahabat.

“Sholat itu ibadah yang mudah dikerjakan namun enggan dilakukan?”

“Katanya sibuk ini itu. Benarkah sedemikian sibuk? Berapa lama waktu yang tertempuh untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul seperti ini. Atau berapa jam lekat mata memandangi kotak televisi?

Tiada pembelaan, dirilah yang khilaf. Meninggalkan sholat dengan kesengajaan.

“Islam meliputi yang enam. Iman kepada Allah, rasul, kitab, malaikat, hari akhir, juga takdir. Iman artinya percaya. Percayakan bahwa Allah itu ada? Dan buktinya?”

“Jagat raya tercipta, dunia teratur sempurna, dan rejeki makluk mendapat tempatnya. Semua tak berjalan sendiri. Disana ada campur tangan Yang Maha Kuasa.

“Perhatikan diri kita; mata, telinga, mulut, tangan, kaki, juga anggota tubuh yang lain. Setiap saat kita menikmatinya. Memanfaatkannya. Tapi kita lupa, siapa yang memberikannya. Andai saja satu tercerabut nikmat itu. Renungkan sehari saja, betapa nikmat yang diberikannya sungguh luar biasa. Dan kita hanya diminta bersyukur. Mudah kan?”

“Alhamdulillah. Ah, tak cukup hanya itu. Islam tegak dengan lima perkara. Syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Dan sholat itu salah satu tanda bersyukur.”

Obrolan semakin menghangat. Seolah hati kami yang berbicara. Dan dalam kata cinta yang kau dan dia ucapkan. Menegarkan, seharusnya kita bahagia.

“Sudah dulu ya, takut kesiangan sholat subuh,” begitu katamu.

Bercerailah ikatan erat ini. Menuju peraduan malam. Sejenak kemudian ruangan ini kembali sunyi, ditingkahi temaram lampu sendiri.

Sahabat adalah orang yang mengingatkan dan saling menasehati dalam kebaikan.

Tatkala Cinta Bertahta di Singgasana

                Senja, sebentar lagi berlatar jingga, lalu kelam terbenam malam. Biru, haru dirindu bangsa berbulu yang kepakannya mengangkasa.  Tampak sudah keremangan yang menghapus bayangan. Pelita menyala menandingi buyarnya kilau surya.

                Ia, masih duduk menanti. Di ambang pintu, sendiri. Sepi. Terdiam bersama lamunan. Menyandarkan diri pada kayu pintu yang menua. Letih menghimpit, sejenak dilepasnya lewat tarikan nafas. Disekanya buliran keringat di gurat kulit yang semakin melipit. Retakan di telapak kakinya menyiratkan liku hidupnya. Tak mudah dan penuh perjuangan.

                Emak, saya biasa memanggilnya demikian. Perempuan gunung itu, menjajakan beragam makanan kecil dengan berkeliling seiring kekuatan langkah kakinya. Berkilo jauhnya bila dikira, pun tak pernah lenguh keluh melepuh diucapnya. Sejak matahari di puncak tahtanya, sampai lengser terlempar ke barat, ia menggendong jajakannya dengan lilitan selendang yang menjerat ringkih tubuh yang tak lagi muda. Alas kaki lusuh berserak debu yang sebagian menyelimuti keriput kulit legamnya. Sebuah caping setia menahan terik yang mengerik kepala. Dirasakannya dalam kurun tahunan. Tak gentar, tetap bertahan. Cuaca panas maupun penghujan bukanlah halangan.

Setiap petang menjelang, ia menanti disana. Setia penjemputan suaminya. Kan membawanya pulang dalam peraduan. Rumah tempat ternyaman. Acapkali saya menemuinya. Sekedar berbagi cerita. Satu-satu. Tentang keluarganya, keluh kesahnya, juga sepotong memori masa lalunya yang masih samar tergambar.

                Satu setengah tahun, bukanlah waktu yang sebentar untuk mengenalnya. Sisi putih maupun dinding gelapnya. Tetapi rahasia terbesar dan terhebat akan terungkap. Saat itu, saat dimana tak sengaja saya menanyakannya.

                Muncul sesosok mungil dengan geliat manja dan senyum manisnya mengoda saya untuk menyapa. Sekedar bermain mata, tersenyum padanya. Lihatlah, ia malu lalu berlalu. Rumbai rambut yang tertiup sepoi angin mengajak saya segera berkata.

                “Lucu ya Mak, anak kecil itu.”

                “Imutnya..”

                Mengingatkan pada buah hatinya, mungkin. Sebenam rindu pasti akan muncul kembali. Menolstagia manisnya tawa canda.

                “Cucunya sudah berapa, Mak?”

                “Oh, berapa ya?”

                Entah mengapa, lama cerita mengena pada sebuah rahasia yang terkatakan. Tak lagi terpendam. Bersama lelaki sepuh setia yang mengantarnya pulang, ternyata mereka belum dilimpahi putra. Lalu siapa, anak lelaki yang sesekali bertautan dengannya. Kerap menjinjing pulang jajakannya.

                Penasaran tepat sasaran. Tanya melambung dan Emak menangkapnya begitu ringan. Tanpa beban. Seolah percaya dengan binar di mata saya. Yang membuka sebuah rahasia.

                “Ia adalah anak angkat, yang Emak pungut setelah empat hari membuka dunia. Ibunya meninggal sewaktu melahirkannya, menyusul ayahnya (adik Emak) empat hari kemudian. Yatim piatu, tak beribu, tak berbapak.”

                Sekelebat ragu sempat menghambat rasa percaya. Seketika saya tepis dengan kesungguhannya bercerita. Begitu mengalun, berperasaan, dan mengalir cinta.

                “Kasihan, begitu orang berujar. Tak terselamatkan bila tiada yang merawatnya. Bayi merah yang butuh kehangatan pelukan bunda. Juga sesesap susu yang mengenyangkannya. Nama yang tersandang, Emak yang memberikan. Ia enam bersaudara. Tatkala orang tuanya tiada, maka sepenuhnya kebutuhan keenamnya Emak yang menanggungnya.”

                Subhanallah. Hati saya merintih. Mendung menggantung dikelopak mata. Suara memarau sengau. Dada menyempit sipit menahan sesaknya senggukan yang bisa ditahan. Seperti inikah sosok yang saya kenal, dibalik penampilannya yang teramat sederhana, bahkan terlihat biasa.

                “Lalu siapa anak perempuan yang dulu pernah Emak ceritakan?”

                “Ia anaknya adik Bapak. Ditinggal mati ibunya ketika melahirkan. Ayahnyatak memperdulikan, tega meninggalkannya dan kawin lagi. Semua saudaranya terbagi, dipungut satu-satu oleh saudara Bapak. Dan anak angkat Emak bertambah menjadi tujuh.”

                Berdecak kekaguman akan putih hatinya. Tujuh putra serta merta menaungi hidupnya. Meramaikan setiap detak kehidupannya. Tak terbayangkan, seberapa besar kasih sayangnya yang tiada ujung itu. Andai boleh dikata, cintanya melebihi makna cinta.

                “Sebelumnya, Emak juga memunggut anak tetangga. Tiga bersaudara. Tiga tahun, dua tahun, dan masih bayi. Orang tuanya sakit-sakitan hingga menyerahkan tanggungnya.”

                “Jadi semuanya sepuluh!” menyirat tak percaya saya menyela.

                “Ya!”

                Saya hentikan tanya. Menerawang pemandangan yang semakin cepat menghitam hilang bayangan. Mata terpejam tajam. Merasakan haru yang menderu. Menakar mulia tak terhingga. Menghela nafas hidupnya yang berarti tungku kehidupan anak angkatnya. Ah, saya tak mampu melukiskan betapa indah cintanya.

                “Namun, pernahkah anak angkat Emak menanyakan perihal bapak ibunya sebenarnya?”

                “Pasti. Emak ceritakan kepada mereka siapa sebenarnya saya. Siapakah yang telah melahirkannya. Juga pusara dimana orang tua mereka bersemanyam.”

                Termangu, sendu menyeruak. Memenuhi rongga hati. Pedih, mungkin. Tapi tak sampai hati menangisi kesedihan.

                “Sekarang mereka semua telah berkeluarga. Setiap tahunnya berkumpul di rumah Emak yang terlalu kecil bersama cucu tercinta. Bahagia.”

                Lega, dada melapang meredam kisahnya. Setumpuk haru akan saya rajut menjadi rindu. Rindu kepada sosok ibu yang teruang dalam rentang waktu. Disana, saya juga merasakan hangat cintanya. Seperti halnya Emak menuangkan kasihnya pada anaknya.

                Pijaran bola merah telah tertelan. Semarak awan jingga telah berubah warna. Menghitam, sehitam petang. Sunyi kembali meratapi. Mimpi menunggu pasti.

                Terima kasih, Mak. Kisahmu akan tertanam selalu. Diruang lenggang hati ini.







                *di Tanah Kerinduan, 15 Oct 2o1o, ditemani sepiring singkong goreng dan segelas kopi :P

                **seperti yang Emak (super hero) ceritakan kala senja tadi

Betapa Beruntungnya Hidupmu, Sobat

Membaca kisahmu, aku terharu.Menyimak jejakmu, kutahu beruntungnya aku. Dua tahun sudah aku mengenalmu. Lewat seberkas senyuman dan gaya rambut yang mirip vokalis Kangen band yang kala itu tenar. Dan kerlingan matamu, membawaku sebuah tanya. Inginnya kuselami samudra kehidupanmu.

Aku biasa memanggilmu, Budi. Namun itu namamu kala engkau masih kecil. Ketika tubuhmu didera sakit berkepanjangan.Atas kehendak orang tuamulah, engkau berganti nama baru, Zaky. Ah, nama yang indah. Semoga setiap detak masa depanmu kelak, seindah namamu.

Engkau sering menghilang, tanpaberita, tanpa cerita. Berbulan lamanya entah kemana, dan darimana pula tiba-tiba engkau datang kembali. Dihidupku. Masih dengan senyuman dan gaya rambut yang berbeda pula, Emo. Dan tak lupa engkau menyapa "Baikkah dirimu?"

Binar dimatamu, sungguh menyiratkan seribu cerita. Begitu sukar, dangkal, riak dan bergejolak. Petang itu dalam kebersamaan kita, kau mengungkapkan sebuah asa. Kutanya, "Kemana hape yang kemarin engkau bawa?" "Dipinta adik, ia malu bertemu temannya dengan hape butut ini," katamu seraya menunjuk sesuatu di tanganmu. "Kenapa?" "Karena begitu sayangnya diriku padanya.
Adikku adalah bingkisan anugrah yang tak ternilai anugrah Tuhan. Satu-satunya yang masih ku miliki."

"Kawan, engkau tahu?" bisikmu. "Ya.""Ibuku telah lama meninggal, dan ayah sudah dimiliki keluarga lain. Saat iniaku beruntung, masih mempunyai seorang bibi yang mau menerima kami; aku dan adik. Seperti adanya."

Rasanya aku ingin menangis,mendengar penuturanmu. Ketegaran yang penuh liku, tatapan yang tak pernah sendu, dan engkau selalu mampu menyembunyikan kegetiran hatimu dariku, selalu,lewat senyum ceriamu.

"Aku membiayai sekolah adikku. Sendiri. Karena ayah sudah tak peduli lagi pada kami." Deg, rasanya jantungku berhenti berdetak, nafas tertahan, dan tenggorokan tercekat. "Dan kenapa aku sering menghilang berbulan-bulan?" tanya yang akhirnya engkau jawab sendiri. "Di kampung,di rumah bibi, aku membantunya mengecat wayang golek pesanan seseorang. Meski jika sepi, terkadang tak mendapat upah. Namun itu lebih dari cukup, bibi telah menghidupi kami." Aku termangu, membaca lagi kisahmu yang tak pernah terpetikdalam hati.

"Maukah engkau kubawakan sesuatu?"tawarmu. "Apa itu?" "Wayang golek, dan nanti akan kupulas sendiri." " Ya,mauuu." "Tapi habis lebaran ya," godamu menghadirkan tawaku. "Boleh." "Siapa wayangnya? Hmm, yang ada mahkotanya yah. Mungkin Arjuna atau Gatotkaca." "Iyadeh."

Waktu itu engkau dapat menangkap binarkebahagiaan dimataku. Engkau tidaklah sendiri, kawan. Masih ada aku yang selalu setia mendengar ceritamu dan meresapi kisah hidupmu. Dalam perjuangan hebat meretas batas, seakan engkau membisik ke dadaku. "Beruntungnya hidupmu, Sobat."

Cerah mentari mengukir hari-hari,engkau tapaki dengan mimpi. Membawa asa mu melayang tinggi hingga sisa nafas kan terhenti.

Memiliki Kehilangan

Ini gerimis kedua dalam bulan ini. Dimana sepoi angin berhembus membawakan kerinduan terdalam. Dan bentangan lapang kerontang telah basah bersimbah butiran hujan. Menyatu teduh. Menelusupkan hawa kesejukan yang mengobati kerinduan.

Sebenarnya, teramat menyayat untuknya. Suara percik butiran air hujan yang jatuh terhempas menelempeng tanah. Terpecah. Terbelah. Dan seperti itulah hancur kepingan hatinya. Derai hujan yang menjemput tanah, ditatapnya. Membawanya turut bermuara ke samudera kenangan. Manis, hingga membentuk lengkungan senyuman tipis. Bagai larik pelangi usai hujan mengisi hari. Indah, bersanding dengan mega layang. Sayang, semuanya telah berlalu. Hingga terasa menyakitkan jika harus dikenang. Telaga matanya, bening. Hening. Lalu beriak. Menandakan ada yang terkoyak. Batinnya. Dan luluhlah hangat tangis.

Senja usianya. Tersirat dari raga penopang sukma. Kerut didahi tampak tersusun rapat bergurat. Kelopak mata mencekung melandai. Keriput kulitnya menggulung bergunung. Punggung kian mengudang. Tapak gemetar. Sorot mata memudar. Kiranya…

Ia merindu. Sangat merindu. Kekosongan dalam jiwanya kembali dipenuhi belasan peristiwa. Dipandangnya foto tua dalam lemari kaca. Sebuah keluarga bahagia. Dirinya, belahan jiwa dan cahaya mata. Andaikan ia bisa kembali mengulang masa itu. Mengulang senyuman itu. Ah, tiada harap. Hanya mendamba. Dan dialihnya sorot sendu pada sebuah foto muda dengan senyuman cahaya mata, putri semata wayangnya. Yang bersanding dengan sang pangeran tambatan hati putrinya. Pernikahan dua tahun lalu bukan hanya memunggut cahaya matanya, namun juga keindahan dari ruang hatinya. Ya, putrinya telah dewasa. Bukan lagi balita yang dulu ia timang, dinina bobokan tiap malam, dan disayang dengan segenap cinta. Telah lepas pula tanggungannya dan kini putrinya telah memiliki kehidupan sendiri, kebahagiaan baru yang akan disemai bersama sang pangeran pujaan. Mungkin, itulah kehidupan. Memiliki kehilangan. Dan sepantasnya tetap dijalani. Dalam sendiri, digelayuti sunyi.

Separuh hatinya, sang suami telah lama meninggalkan jejaknya. Satu dasawarsa dirasa tidaklah lama. Karena kemarin ia masih punya cahaya matanya. Cintanya. Sepenuhnya masih ia curahkan. Namun kini tiada. Hampa. Rudung duka menutupi garis wajahnya.

Gerimis sore ini. Kecipak di dedaunan. Mengingatkannya di sore itu. Tentang perpisahan. Makna kehilangan. Cahaya mata yang menerangi hidupnya telah dibawa sang pangeran pujaan putrinya. Ke istana bahagia nan jauh disana. Dipandangnya putih langit. Digoresnya lembut paras putrinya dalam mendung kelabu. Lama tertegun. Ia tersenyum getir. Berharap petang kan menjelang. Baginya gerimis ini mengobati segores luka kepedihan hatinya. Kerinduannya. Cucuran hujan yang menemani kesepiannya, pasti juga merindukan laut. Sekian lama. Tak kunjung belahan hati didekapnya. Ingin, ingin sekali dipeluknya erat. Tak terlepas. Hingga derai air mata tumpah tak tertahankan. Mengembangkan senyuman indah di rona wajahnya. Dihatinya. Juga pada suara-suara yang akan mengisi relung hatinya.

Perempuan tua itu masih setia di beranda. Menanti kepulangan cahaya mata tercinta.

“Nak, lekaslah pulang.”

Surat Kasih Untukmu, Flu

                Hai Flu, gimana kabarmu? Moga sehat selalu. Kapan terakhir kamu berkunjung padaku? Hampir semusim berlalu. Sudah rindukah kamu? Kalau boleh tahu, seberapa dalam rindu yang kamu pendam untukku? Ah, kamu masih seperti dulu. Diam membisu. Menjawab sendiriku dalam sepiku.

                Istirahatlah sejenak dalam badanku. Rebahkan sendi-sendi yang meleraikan lelahmu. Bagaimana tadi perjalananmu di kereta angin. Menyenangkankah? Inginku ikut menjadi kawan berceritamu. Setidaknya mengurangi jemu menunggu. Tetapi lain kali saja ya. Oh ya, mandilah dulu. Ambillah handuk di hidungku. Sesudah itu berbaringlah di tenggorokanku.

                Maaf, mungkin aku tuan rumah yang pelit. Hanya memberikan ruang yang sempit. Berhimpit dengan debu dan kotor. Sejuk di ruangan yang sedikit. Hingga memaksamu keluar meleleh melorot menyentuh bibirku.

Jangan marah ya, bila kukatakan sesuatu. Janji!

Sejujurnya aku tak merindukanmu. Tidak pula ingin kamu bertamu meski sejenak saja. Ups, jangan tersinggung. Tahan tanganmu. Hempaskan nafas beratmu. Oke. Sudah?

Ada sesuatu kenapa aku harus menyurat untukmu. Meski terkadang aku membencimu. Tak tahu kenapa. Tapi hadirmu malam ini. Punya arti sendiri bagiku. Langkahmu terasa menguatkanku, bahwa sebenarnya aku ini teramat lemah. Lemah tubuh yang kau pinta, mengingatkanku kepada siapa aku punya. Ketidakberdayaan diriku, kamu mengabarkan bahwa hanya Ia tempat segala bergantung sesuatu.

Aku tahu kamu sayang padaku. Teramat cinta. Tak ingin pula kamu kehilangan diriku. Tapi ketahuilah, Flu. Cintailah apa yang kamu punya karena apa yang kamu cinta belum tentu kamu punya.**

                Flu, bila engkau sudi, bolehlah agak lama mampir di rumahku ini. Hmm, apa? Oh, maafkan minuman yang aku sajikan tadi. Tak bermaksud aku meracunimu. Tak pula aku berniat mengusirmu. Tenang, biar aku jelaskan. Itu tadi hanya sebentuk pilihan takdirku. Tentu juga kamu memahami.

                Bila saat kepergianmu tiba. Bolehkah aku merindukanmu untuk sebuah masa?

                “Hatchii…” jawabmu.

                Baiklah, “Alhamdulillah.”

                *error..error..error..mode on :P

                **makasih mas khanif untuk ungkapan yang pernah kupinta

                ***Ruang Cahaya, o4 Nov 2o10

Surat Untuk Sahabatku, Merapi

                Apa kabar, Sahabat? Bagaimana keadaanmu. Baikah kamu disana. Atau sedang sakit flu seperti yang kualami sekarang. Katanya ingus merahmu juga mulai mencair mengalir. Bagaimana juga kabar saudara dekatmu, Merbabu. Sama tinggikah kalian sekarang. Pernahkah kamu tanya obat padanya jika gejala pilek meradang. Ah, kamu masih seperti dulu. Pasti kebanyakan merokok hingga tak kunjung sembuh. Berhenti ya. Jaga kesehatanmu.

                Sahabat, jaman sekarang sudah berubah. Rentang jarak bisa disingkat. Jauh serasa dekat. Sebenarnya tak perlu juga kukirimkan surat ini via pos, cukup ke emailmu saja. Itu lho yang lewat jaringan internet.

Oh ya, berapa nomer hapemu. Atau akun facebook-mu. Boleh juga twitter-mu. Nanti biar aku save, add dan twit. Paling tidak aku tak harus berkirim surat padamu. Cukup meng-sms-mu atau melihat statusmu. Siaga, waspada, atau tenang-tenang saja. Ah, lupakan.

Sahabatku, di media kini kamu jadi terkenal. Hampir setiap paruh waktu berita tentangmu gencar memenuhi kotak dan halaman. Menjadi breaking news. Wajahmu tersorot. Kepulan asap rokokmu. Pilek yang semakin menjadi. Suara batukmu yang terdengar hingga radius beberapa kilo.

                Maaf, seminggu yang lalu aku baru bisa menengokmu. Ternyata penyakitmu tambah parah. Badanmu kian panas. Demam tinggi. Hingga endusan panas dari hidungmu mampu memanggang ternak yang dibiarkan, juga menghanguskan rumah yang ditinggalkan.

                Perlukah kupanggilkan seorang dokter? Ah, mereka ternyata sibuk sekali, Sobat. Memeriksa kondisi kesehatan para pengungsi yang ketakutan setengah mati. Mengobati derita korban yang melepuh kulitnya tersinggung dengus panas hidungmu. Juga merawat pasien yang trauma melihat kondisi kesehatanmu yang kian memburuk.

                Kenapa? Jangan marah ya. Jika mereka meninggalkanmu disaat kamu menderita sakit seperti ini. Percayalah! Mereka juga mendoakanmu agar cepat sembuh. Lihatlah tulus yang mengalir dari bening matanya. Getar bibirnya yang mengucap agung asmaNya. Pengharapan yang tertaut di wajah piasnya. Semuanya, Sobat. Mereka peduli padamu.

                Ah, kamu jangan cengeng begitu. Hapus air matamu. Redakan gemuruh di dadamu. Semakin kamu menangis, semakin sesak pula nafas mereka yang mendoakanmu karena hujan abumu. Tersenyum saja ya. Nah, gitu.

Sebenarnya aku rindu, teramat rindu padamu. Rindu akan kesembuhanmu. Seperti dulu. Dimasa itu.

Sobat, aku mau bercerita. Tentang masa kecilku dulu, juga tentangmu, antara kita. Dengarkan ya.

Dulu, pagi ketika aku berangkat sekolah, selalu aku melihat teduh wajahmu dari balik hijau dusunku. Biru, sebiru langit cerah tanpa awan. Gagah tubuhmu terpancar dari kejauhan. Elok begitu rupa diterpa mentari pagi. Aku kagum. Terpana dengan sosok tenangmu yang berwibawa. Dalam peluk tubuhmu yang besar, pasti didapati kedamaian disana. Bahkan dalam tidur pulasmu, ada ketenangan yang meraja.

Sobat, itu dulu. Setelah itu kamu gemar akan kebiasaanmu, merokok. Meski hanya terkadang, namun sekarang bisa kamu tahu efeknya kan. Bertahun-tahun lamanya. Kumohon kini, ini demi kebaikan kita. Hentikanlah sekarang juga. Mau kan, please…

Oh, sebenarnya kamu tak ingin seperti ini juga ya. Aku tahu hatimu begitu peka. Tak ingin kamu melihat penderitaan di bawah sana. Dalam barak pengungsi, dalam ketakutan yang menggigil. Tangis yang pecah kerena kehilangan saudara dan hartanya. Obat-obatan yang dibutuhkan. Wajah melas yang berharap pertolongan. Kebutuhan papan, sandang, dan pangan yang kurang dari kecukupan. Anak-anak yang tak bisa belajar mengenyam pendidikan. Masa depan semuanya terlihat suram. Kelabu tak menentu.

Ah, kamu jangan ikut bersedih. Lihatlah, akan ada dari saudara kita yang membantu sesama. Meluangkan pikiran, waktu, dan tenaga untuk saudara yang ditempa derita. Lewat doa dan harta. Semangat kepedulian mereka, saksikan!

Sekarang istirahatlah dulu ya. Matikan nyala rokok ditanganmu. Berbaring dan tidurlah. Semoga mimpi indah.

Sekian dulu surat rinduku. Semoga kamu lekas sembuh. Jaga kesehatanmu. Peluk hangat dan dekap erat, Sahabatmu.


*Kota Udang, o6 Nov 2o1o.

Kecewa

amarah bersarang di dada

mengepal tangan

acungkan telunjuk

ke mukamu



mata nyalang penuh kebencian

tajam menikam

merobek nyalimu




lihat, muka batuku akan menghantammu

juga urat besar di leherku akan menjeratmu

dengar, gemeretak gerahamku akan meremukkanmu

dan sengal nafasku akan membekapmu



                apa yang kau tatap!

                dadaku ingin meledak



*Palimanan, 12 Nov 2o1o.

Surat Buat Bunda

                Apa kabar, Bunda? Bagaimana sekarang Bunda disana? Ananda rindu. Telah seminggu ini Ananda tak bisa tidur nyenyak. Terbayang wajah teduh Bunda disana. Sekilas senyum yang selaksa bunga merekah itu selalu mengikuti. Menghantui setiap sepi ini. Ah, Bunda, kapan Ananda bisa bersua lagi.

                Beberapa hari ini tubuh Ananda agak lemas. Mungkin karena Ananda tak banyak makan. Sakit, karena keseringan memikirkan bagaimana Bunda sekarang. Maafkan. Rindu ini terlalu berat ditahan. Sungguh, saat seperti ini Ananda jadi teringat akan kisah lalu. Ketika Ananda jatuh sakit tak berdaya. Lara. Lalu hadir pelukan Bunda. Mendamaikan. Lalu disana tampak telaga bening mengalir di pipi Bunda. Luruh. Kalaulah bisa, saat itu Ananda akan coba menghapusnya. Tak ingin Bunda sedih karenanya. Dalam kebeningan mata itu, Ananda tahu, ada besar cinta tersirat disana.

                Bunda, dekap hangatmu, Ananda rindu. Pelukan kasih sayang seorang ibu yang mampu menenangkan. Meredakan di saat gelisah mengiba. Di kala takut meraja. Meski Ananda tahu, kadang pelukan itu terlalu erat. Tak ingin kehilangan.

                Bunda, sebenarnya Ananda tak ingin menceritakan kembali. Kisah tentang mereka. Kebaikan tanpa harap dan ucap terima kasih. Mereka yang telah memberikan kita tempat naungan yang teduh ini. Memanyungi dari panggang matahari dan curah hujan. Tanpa diminta menyiapkan sarapan, makan siang, dan juga makan malam kita setiap hari. “Sahabat,” Bunda bilang begitu. Ananda setuju. Tak pernah terdengar lenguh keluh dari katanya. Juga sungguh baik peragainya. Mereka adalah manusia terpuji. Kalau saja kita bisa membalas jasa mereka ya, Bunda.

                Tapi, seminggu lalu. Hati Ananda perih. Terluka. Sahabat kita itu, kenapa diam saja? Sewaktu sosok berdada bidang dan berbahu kekar itu menarik kasar Bunda. Tak punya nuranikah mereka ketika melihat Bunda meronta? Kejam! Kalaulah tali ini tak mengekangi, tentu Ananda akan tendang dan hajar mereka. Biar mereka tahu rasa, bagaimana rasanya orang yang terkasihi disakiti. Namun, apa daya. Ananda tak mampu melakukannya. Dan tatapmu, Bunda, menyiratkan kehilangan. Bunda!!

                Masih Ananda ingat, bagaimana tetes bening air mata Bunda jatuh berderai membasahi tanah. Saat itu, jejak perpisahan yang tak terlupakan. Bagaimana isak tangis tak sanggup terbendung. Mendung menggantung di pelupuk. Dan kita terdiam, hanya hati yang berbicara lewat tatap mata. Cahaya yang akan hilang. Bunda, Ananda kangen..

                Sejak kehilangan sosok Bunda. Hari Ananda jadi terasa sepi. Entah. Setiap hari hanya mengurung diri di pembaringan. Tak ingin berdiri sekedar menengok dunia yang katanya indah itu. Ah, kemarin, sahabat kita yang tak peduli itu mencoba menghibur Ananda. “Tulislah surat kepada Bundamu,” katanya.

                Meski hati meradang, tapi Ananda memaksa tersenyum. Ananda tanya, dimana Bunda dibawa? Mereka hanya menggeleng kepala. Seakan raut sedih juga melekat di wajahnya. Lalu berlalu pergi meninggalkan Ananda sendiri. Sedih. Ananda sedih sekali, Bunda.

                Maafkan. Ananda hanya bisa menulis rindu ini. Semoga bisa mengobati rasa yang sama di hari-hari Bunda. Lewat secarik surat yang Ananda tulis dengan penuh harap ini. Akankah Ananda bisa bertemu Bunda lagi? Ananda tunggu balasan dari Bunda.

Dari Ananda, yang merindu selalu.

***

Balasan : Surat untuk Ananda.

                Ananda yang kucinta. Maafkan jika Bunda tak bisa menemani harimu lagi. Bukan ingin Bunda begitu. Namun takdir yang ternyata sanggup memisahkan satu jiwa kita. Ananda jangan bersedih. Bunda di sini baik-baik saja. Besok ied sudah tiba. Gema takbir akan mendunia. Umat muslim suka cita merayakannya. Sebenarnya itulah saat yang dinanti Bunda. Menjalankan peran sebagai hambaNya. Hamba yang bersyukur atas limpahan rahmat.

                Bila Ananda telah membaca surat ini. Berarti Bunda tiada di dunia lagi. Tentu Ananda tahu, bangsa kita diciptakannya untuk apa? Untuk kemaslahatan umat manusia, sahabat kita. Dan itulah bentuk ketaatan Bunda kepada Sang Pencipta.

                Kadangkala hidup tak bisa memilih. Tapi percayalah inilah yang terbaik untuk kita.

                Sekian surat singkat dari Bunda. Bila Ananda merindu. Bayangkan senyum Bunda ya..

                Kecup hangat..

Bunda.

Terluka

sendiri
kudapati sepi
menemani
penghabisan sisa hari

kupunguti
diantara puing sunyi
pada hampar gersang bekas terpanggang
panas Merapi yang menghangus bumi

kutuang air mata
pada merah pusara
disana, separuh hati yang kini tiada
dikulum bara kemarin lusa

Pa5nan, 2o Nov 2o1o.

Bocah Nelayan

Ibu, mungkinkah ayah pulang
setelah rob menerjang
porandakan kampung harapan
tenggelamkan kapal impian

Ibu, kenapa pelangi itu hitam
laut itu kejam
langit itu buram
wajah Ibu juga muram

apa karena saksi kelam
puluhan nyawa meregang
tenggelam
tanggalkan sejengkal harapan

kenapa Ibu diam?

anakku, tidurlah
mimpi yang indah
jangan kau gundah
percayalah, esok mentari pasti cerah


Ibu, bila kelak beranjak dewasa
bolehkah aku seperti ayah
membentang jala dalam gulita
mengarung samudra di sana

tentu nak, badai pasti berlalu
doa Ibu menyertaimu
selalu

malam bertambah panjang
bocah nelayan larut bersama impian
ditengah harapan yang tinggal harapan
terambing dalam keterasingan di pedalaman

Pa5nan, 22 Nov 2o1o.

Negri-negri

I
di negri antah berantah
lautnya tumpah
tanahnya merekah
hutannya memerah

di negeri antah berantah
jerit lelah kaum susah
menangis resah di tempat sampah

di negri antah berantah
penguasa bungah
bertelekan istana mewah

di negeri antah berantah
wajah memerah
kepalkan marah
hadirkan darah

II
di negeri mimpi
korupsi menjangkiti
TKI terdzalimi
pemerintah lambat peduli

di negri mimpi
pemudanya tak berpekerti
gaul bebas dibilang tradisi
harga diri dibiar mati

di negri mimpi
hakim diteteki
hukum bisa dibeli
keadilan dikebiri

III
di negri kaya
kaum papa berlomba
meminta-minta

di negri kaya
penguasa berleha-leha
di kursi singgasana

di negri kaya
orang kaya sibuk kumpulkan harta
orang miskin mati menderita

di negri kaya
pengangguran terlunta mencari kerja
sedang para buruh di PHK

di negri kaya
babu lahirkan anak tuannya
bapak perkosa putrinya
bayi terlahir tanpa nama

di negri kaya
penjahat negara berpesta
menikmati surga
di dalam penjara

IV
di negri seberang
malu ditendang
tubuh molek diuang
bayi dibuang

di negri laknat
pajak diembat
rakyat melarat
peduli amat!

V
di negri antah berantah
tangis masih pecah
mengiringi luka jenazah
 di gundukan merah basah

salahkah?
bila laut tumpah
tanah merekah
langit marah

salahkah…?!
bila Tuhan benar-benar marah..!

Pa5nan, 23 Nov 2o1o.

Re : Surat untuk Kawan Kost-ku

                Apa kabar kawan sekost dan sekamarku. Gimana tidurmu malam tadi? Nyenyak ataukah penuh dengan bentol. Hehe. Maaf, aku tak bisa membalas suratmu kemarin karena engkau tahu aku tak bisa membaca apalagi menulis. Jadi ini anggap saja suara hati. Oke.

                Jika engkau bertanya apa aku punya hati, emm maksudnya sebesar apa hatiku kalau badanku sekecil ini. Janganlah terlalu gusar memikirannya ya. Anggap saja hati itu mewakili perasaanku ini. Perasaan yang kecil bahkan mungkin tersingkirkan dan mudah terlupakan.

                 Tentang perkara sentuhan kulit dan muhrim itu, aku tersenyum. Kenapa kawan? Apa engkau tahu, aku ini jantan ataukah betina? Hmm, lupakan saja ^^  Memang di bangsamu berlaku seperti itu yah. Tetapi penyebab aku menyentuh kulitmu bukanlah perkara seperti itu. Mungkin ini sulit di terima olehmu, tapi akan kujelaskan.

                Kawan, engkau memang cinta matiku. Teramat cinta. Bahkan aku telah ditakdirkan tak bisa hidup tanpa menyentuh kulitmu, maksudnya aku tak bisa bertahan hidup tanpa meminum darahmu. Hal yang sebenarnya beresiko, mendekati dirimu yang selaksa raksasa di mataku. Berkali-kali aku melihat kawanku mati menjadi gepeng hanya untuk menjalani takdir ini. Aku tak tega. Demi perut, nyawa kami jadi taruhannya. Darah yang berceceran di lantai bekas tepukanmu. Sebagian menemui ajalnya ketika sedang asyik menikmati setitik darahmu. Kalau kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Dendam? Menyerangmu beramai-ramai. Ah, tapi bangsaku tak seperti itu.

                Inilah yang disebut takdir, Kawan. Aku harus tunduk padaNya. Kenapa aku harus meminum darah manusia untuk kelangsungan hidup? Mengapa tak minum air saja? Aku hanyalah makluk kecil tanpa daya. Tapi aku bersyukur, setelah kematianku aku tak bertanggung jawab atas semua perbuatanku, termasuk menyakiti dan mencuri darahmu.

                Tentu kamu sudah tahu, Kawan. Bangsa kami dibekali bentangan sayap untuk terbang dan mudah hinggap mencari makan, tetapi kami tak dibekali dengan akal, hanya indra untuk menangkap rangsangan. Begitu kami lapar dan melihat ada puluhan liter darah yang terbungkus kulitmu. Otak kami tak bekerja sebagaimana otak bangsamu, Kawan. Data yang kami peroleh, kami telan mentah-mentah. Langsung bereaksi. Tak peduli saat engkau masih terjaga atau terlelap, kami tetap nekat mencurinya. Itulah kenapa, sejak dari dulu peradapan bangsa kami tak bisa berkembang, misalnya menciptakan alternatif makanan baru pengganti darah manusia. Jadi, jangan salahkan kami ya.

                Jadi, intinya aku dan kawan-kawan tak bisa berdamai denganmu. Maaf, ini bukanlah perkara benci atau dendam karena engkau telah mengambil puluhan nyawa kawanku. Sekali lagi, ini adalah sebentuk kepatuhanku menjalani takdirNya. Aku tak bisa berbuat lebih dari ini.

                Terima kasih, engkau telah mengijinkan aku menginap dalam kamarmu yang hangat. Meski setiap malam engkau menyalakan spiral berasap itu untuk membuat aku tersedak dan menahan nafasku agar aku cepat menyingkir dari kamarmu.

                Terima kasih engkau telah menulis surat untukku, sebagai ungkapan hatimu padaku. Meski aku tak bisa membaca dan menulis. Aku jadi tersanjung, ada yang perhatian padaku ^^

                Terima kasih juga, engkau mau menyediakan waktu mengetikkan suara hatiku ini. Padahal yang kau dengar hanya suara dengungan di telingamu. Apalagi engkau menuliskan kata cinta mati dariku. Berarti kita tak terpisahkan ya. I LOVE YOU FULL. Hahaha.

                Terima kasih engkau tidak menganggap aku hanya makluk pengganggu yang kerjaannya membuat tidurmu tak nyaman. Membangunkanmu untuk bergadang.

                Oke!

                Sesuai dengan pesanku, bila kawan-kawanmu membaca suara hati ini berarti aku sudah tiada. Salam cinta (mati) dari kawan-kawanku untuk kawan-kawanmu. Sampaikan yah.


                Kamar Kita, 21 Januari 2011

                Dari nyamuk imut :) yang merindukan tamparanmu sekali lagi. Plak!! Duh, sakit pipiku..

Surat untuk Kawan Kostan-ku

               Apa kabarmu, Kawan? Ada di mana sekarang. Kok pagi ini tak kelihatan. Ah, pasti lelah ya setelah terbang semalam. Sayapmu pasti kendur hingga butuh direbahkan. Matamu sayu dan harus ditutup. Begitu juga tubuhmu, butuh tidur. Maaf, semalam tadi aku tak bisa ikut menemanimu bergadang. Semoga kamu mengerti, Kawan.
                Sebenarnya aku menulis surat ini untuk mengungkapkan sesuatu padamu. Maksudnya? Kamu pasti bertanya seperti ini. Setiap malam kamu terjaga dan mengajakku bergadang. Kamu tahu, aku lelah sehabis bekerja. Tubuhku tak kuat menahan ngantuk. Apalagi esoknya mataku harus terbuka karena bekerja. Hmm, begini saja. Kamu ajak orang lain saja ya. Gimana? Kenapa? Nggak mau. Haha. Repot juga sih kalo begitu.

                Mungkin kamu udah kadung pada aku ya, hingga tak mau melepaskanku. Ah, jatuh cinta itu sulit ditebak. Ia hadir secara tiba-tiba. Lewat pandangan pertama, kata orang-orang. Namun kamu berbeda. Kamu mencintaiku pada sentuhan pertama. Kulitku yang sedikit gelap rupanya tak menghalangi kamu untuk menaruh hati di sana. Kemudian kamu sering menyentuh kulitku dengan lembut hingga aku tak merasakannya. Ingin kuberitahukan padamu kawan. Sebenarnya aku agak risih juga. Kenapa? Jangan kamu tanya begitu. Kamu pasti memahami prinsipku. Kita kan bukan muhrimnya. Jadi nggak boleh bersentuhan. Hehe. Jangan manyun gitu dong.

                Bagaimana kalo kita putus, mulai sekarang. Ah, pasti kamu bergumam ini adalah pernyataan bodoh dariku. Memang aku tak bisa berharap jauh bahwa kamu akan melepaskanku sesudah teramat dalam mencintaiku. Mungkin aku adalah cinta matimu (halah), kamu pasti mengangguk dengan senyuman secerah mawar merekah. Duh, jadi puitis gini jadinya.

                Aku merasa ini yang terbaik untuk kita. Aku merasa ini sudah menjadi suratan takdir yang harus dijalani. Aku memutuskan bukan karena benci kepadamu. Aku cuma ingin mengakhiri sentuhanmu itu. Kuberitahukan kepadamu, Kawan. Kita selamanya memang tidak bisa bersama apapun alasannya. Maaf ya.

                Aku tahu, kamu pasti marah padaku. Setelah sekian lama bersama, teganya aku menyatakan ungkapan yang kamu benci ini. Seakan aku tak memahami perasaanmu yang sensitif itu. Seakan aku tak menghargai seberapa lama kebersamaan yang kita jalani. Kala aku sendiri, kamu setia menemani. Saat aku dilanda sepi, kamu menghiburku dengan candamu.

                Tak ada yang salah bila NANTI kamu semakin bertindak nekat kepadaku, aku mengerti resiko ini. Bayanganku, sentuhanmu tak akan lembut seperti dulu. Mungkin akan berubah menjadi gigitan yang menyakitkan diriku. Membuat aku kesal, ingin menampar mukamu. Sementara kamu puas tertawa atas penghianatan pertemanan ini. Kamu tak lagi menyanyikan tembang merdu di cuping telingaku, melainkan teriakan caci yang membuat aku semakin kesal kepadamu. Membuat aku uring-uringan dan balik memakimu.

                Baiklah. Bila nanti itu terjadi, bolehkah aku menghapus luka dihatimu. Meminta maaf atas segala kelakuan kasarku. Kita berdamai. Kita berjanji tak saling menyakiti lagi. Kita tak boleh membenci lagi. Aku iklaskan jika memang kita harus tinggal seatap-sekostan. Meskipun kamu memilih berdiam diri, aku pun mengerti. Apa? Kamu tak mau memaafkanku. Ya, sudahlah bila itu maumu.

                Terpenting aku sudah mengungkapkan isi hatiku ini.

                Haha. Maaf, ternyata aku lupa bahwa kamu tak bisa membaca juga menulis. Sudahlah Kawan, istirahatlah dulu. Nanti malam kamu terjaga dan aku kembali terlelap. Namun, kumohon jangan ajak aku tuk bergadang lagi ya. Satu permintaanku tiap malam kepadamu. Oke!




                Kamar Kita, 18 Januari 2011.

                Untuk kawan sekamarku, nyamuk imut :)

Surat Buat Ayah (Titip Rindu Untukmu)

           Assalamu’alaykum
            Apa kabar Ayah? Sehatkah? Semoga engkau senantiasa dalam limpahan rahmatNya.

            Maaf, Ayah. Kutulis sepucuk surat ini karena ada sebentuk rindu untukmu. Rindu yang masih tersimpan dan terkenang. Rindu yang masih tertahan dan terkekang. Tentang kita, tentang keluarga, juga tentang masa.

            Masihkah engkau ingat, jalan pulang yang kita lalui di pematang? Ya, penuh ilalang dan belalang. Juga jalan pagi yang kita lewati di sela gemerisik padi. Bermandi embun berkilau cahaya. Aku merindu itu semua. Sangat merindu.  Namun kini pijakku lain. Bukan pada pematang yang gembur di bentang lahan subur, melainkan pongah gedung terselip gang beton berwajah murung.

            Ayah, kurindu saat kita menelisik di terik mentari. Saat cipratan Lumpur dan peluh bercampur dahaga. Saat wajah lelah membagi tawa. Bersama mengayun cangkul berdua. Demi tanah gembur lahan subur. Mengibas jerami dan benamkan teki dengan kaki. Kapan kita akan jalani waktu seperti ini lagi? Dibuai sepoi dikelakari mentari. Sementara saat ini diri terlena senandung mesin tua yang menyumpali cericit burung emprit. Juga nafas kusam yang semakin hitam dikipasi polusi dari corong raksasa yang tiada henti.

            Bila kuingat saat bulir merunduk berisi. Daun hijau menguning pasi. Dan hamparan padi sungguh menyejukkan hati. Kita akan bercerita. Tentang masa paling bahagia. Ketika tawa melepas untaian rasa. Ketika canda menhadirkan makna. Itulah masa panen tiba. Masa panantian akan datangnya balas jerih payah. Saat semua lunas terbayar sudah. Kita berpijak pada bumi yang kokoh. Berteduh langit yang tinggi. Lalu sabit menari meliuki batang padi. Menggenggamnya. Erat. Seakan kita tak ingin segera terbangun dari mimpi ini. Lalu, masihkah kita bisa berharap lagi? Pada damai yang sering kita nanti. Bila diri ini memilih tegap berseragam bangga. Berteman sift juga lembur. Berkantong gaji berbaju karyawan. Dan tak peduli lagi selama masih sanggup membeli beras untuk ditanak menjadi nasi.

            Ayah, maafkan aku. Bila rindu ini semakin memberatkan gundahmu. Mengusik pikirmu. Selalu menawan anganmu. Menipiskan harapan lalumu atas siapa yang akan melanjutkan cita ini. Memberi nasi pada negeri. Bila anakmu ini lebih suka menjadi kuli berbayar gaji.

            Ayah, maafkan aku. Jika belum kumengerti arti legam di kulitmu yang terbakar matahari. Atau pahami gambaran gurat di wajahmu yang semakin keriput. Juga menerka gemetar tenaga yang terkuras usia.

            Sekian dulu surat rindu ini. Semoga, bila ada waktu. Kita akan mengulang lagi semua ini.

            Wassalamu’alaikum.


            Salam rindu dari anakmu.



Palimanan, 27 Jan 11 02:25 am.





*terinspirasi Titip Rindu Buat Ayah, Ebiet G Ade :

“Ayah, dalam sepi hening kurindu untuk menuai padi milik kita. Tapi kerinduan hanya tinggal kerinduan. Anakmu sekarang banyak menanggung beban”

Hujan Januari

               Januari telah menunggu di ujung hari. Dihalaunya sebentuk mendung di wajah. Dikuatkan pijakan hatinya di tanah basah. Bahwa hujan tak akan turun lagi malam ini. Namun, siapa sangka. Tak ada yang mampu menahan tangisannya yang bergemuruh di hamparan hati. Percikannya menari seolah tak peduli. Mengikis bebatuan cadas keberdayaan. Menghanyutkan berjuta harapan. Ia tak lagi bisa bersandar pada satu musim. Ia tak mampu lagi menerka keadaan. Ia pasrah. Ia butuh samudra untuk menampung segala keluhnya.

                Januari telah menunggu di ujung hari. Jarinya basah oleh air mata. Tawar. Tak seperti kecapan kesedihan yang terbayang di bentangan samudranya. Ia memancar tanya, berbinar, kemudian mengerti. Hujan bukanlah anugrah yang terciptakan bagi jiwa yang lemah. Ia memahami. Hujan bukanlah nelangsa yang terwadah untuk jiwa yang tabah. Ia kumpulkan butiran duka dengan sepenuh rela. Lalu dijalin prasangka menjadi untaian sejuk embun yang akan terbit esok hari. Berseri.

                Januari telah menunggu di ujung hari. Menanti jawaban bintang pagi yang masih bersembunyi dari senyuman rembulan. Diratapnya dalam-dalam. Rindu dendam. Tapi keyakinannya mulai runtuh. Jiwanya tak lagi utuh, tatkala mendung kembali menggerayangi langit harapnya. Ia tak lagi melihat sinar terpancar di sana. Kecuali halilintar yang memekakkan telinganya. Ia sumbat dengan ujung jari. Memejam. Ia menemukan, kedamaian bukanlah perkara keadaan. Melainkan tumbuh dari dasar hati yang lama tak disirami.

                Januari telah menunggu di ujung hari. Pada malam yang menenggelamkan dosa. Ia sapa dengan kehangatan doa. Direngkuhnya hari ternoda. Ia basuh dengan selaut cemas. Akankah? Ternyata, penyesalan selalu datang lebih cepat dari angin yang membawa kabar mendung. Tampaknya hujan akan turun lagi. Tapi bukan rintik kesedihan yang dipercikkan kegelisahan. Ini adalah hujan yang jatuh dari langit jiwa yang bersyukur.

                Januari telah menunggu di ujung hari. Ingin segera berkabar pada Februari. Kepulangannya.

                Pa5nan, 31 Jan 2o11

Demam Rindu

Wajah membeku, lidahku kelu. Entah kenapa tiba-tiba kau menyerangku saat aku sedikit mengingatmu. Dengan rasa yang sedemikian cepat menggelora. Memenuhi ruang dada. Menjalar cepat ke titik sukma. Mendesir aliran dalam raga. Lalu membuat aku demam; panas dan dingin. Tak berdaya. Hanya karena rindu ini kepadamu.

Mata menghampa. Tatapan kosong tersirat pada bisu dinding kamar. Bayangan khayalan berdesakan, berebutan, untuk mengatakan kenyataan. Bahwa berhari ini pikiranku tak juga pulang. Ia mengembara, mencoba menapak jejak langkahmu, menebak alur rindumu, juga menerka rasa yang bersarang, yang mungkin akan kau ungkapkan ketika aku datang.

Rindu ini senyata semakin menggebu. Seperti gulungan mendung  yang menggantung di atap langit sore jumat itu. Kuresapi, anak air pun tak kuasa menanggung rindu untuk bertemu ibunda di samudra. Mengudara. Lalu aku tersenyum. Malu. Membayangkan wajahmu. Akankah rindumu juga seperti itu?

Entah bagaimana rindu ini berhasil mendamaikan jarak. Tiga ratus lima puluh kilo bukanlah bentangan yang dekat. Kau seakan menyemangatiku di setiap gerak, seolah mengatakan; bahwasanya bumi ini terlalu sayang bila tak  kau maknai. Di setiap liuk pinggul pegunungan yang menjulang, di hembusan nafas kesegaran lautan nan lapang, di jemari pohon kian tinggi, di sepanjang sentuhan telapak aspal yang menghitam terbasuh sucinya hujan. Aku dapati, rindu tersenyum sipu ketika berceloteh tentang ini.

Katakanlah padaku kalau rindu ini benar mengelabui waktu. Tujuh jam duduk bersamamu. Mendengar ceritamu dari desahan angin malam. Melihat binar terang dari sorot mata yang kau tampakkan pada lampu penerang sepanjang jalan. Juga kejahilan tanganmu yang melempariku dengan hujan. Lalu kau terkikik, melihat wajahku ketakutan mendengar candamu dengan gelegar halilintar.

Ah, kau membuatku semakin merindumu.